Sumber:http://www.kompasiana.com
“Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa….”
Itu
dulu. Lirik lagu hymne guru dengan redaksional pahlawan tanpa tanda
jasa. Tapi kini sejak adanya pengakuan terhadap profesi guru lirik lagu
hymne guru mau tak mau berubah, “Patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia.”
Namun begitu,ternyata perubahan ini tetap tidak mengubah potret guru
sebagai pahlawan bangsa. Dan saya yakin bahwa paradigma kepahlawanan
yang melekat pada guru hampir saja berada di bawah wilayah kesadaran
manusia Indonesia, karena hal ini telah begitu lekat dengan kehidupan.
Betapa
kita di Indonesia ini memiliki kisah yang begitu kaya dengan
kepahlawanan guru. Goresan kepahlawanan sang pendidik yang berada di
daerah terpencil, dengan gaji yang jauh dari layak namun tak mengurangi
dedikasi mereka pada pendidikan. Atau bagaimana sosok manusia mulia itu
berjuang melawan tradisi setempat yang tak sejalan dengan semangat
pendidikan, dikikis sedikit demi sedikit dengan kesabaran dan kebesaran
jiwa mereka. Airmata haru dan decak kekaguman kita sebagai warga bangsa
ini selalu tercurah bagi mereka sosok-sosok mulia berstempel pahlawan
itu. Maka tak pernah kita meradang atau tak terima ketika guru
mendapatkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Kemudian semenjak
disepakatinya UU guru dan Dosen no.14 th 2005 ada perubahan yang cukup
signifikan terhadap (profesi) guru. Berkat UU tersebut guru kemudian
diakui sebagai sebuah profesi yang berimbas pada kompetensi minimal yang
harus dimiliki guru. Dan yang paling menggembirakan bagi kalangan guru
adalah adanya sertifikasi guru yang walaupun sebenarnya dimaksudkan
untuk meningkatkan profesionalitas namun lebih banyak ditangkap sebagai
meningkatkan pendapatan guru. Perubahan ini membawa pergeseran cara
pandang masyarakat terhadap guru. Bahkan hal ini terlihat dari diubahnya
lirik lagu hymne guru.
Kini kita lebih banyak disuguhkan dengan
fenomena guru yang melakukan plagiat massal demi memenuhi syarat
sertifikasi. Atau tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap
siswanya. Juga tak jarang kasus yang berkaitan dengan tindak korupsi
terjadi di kalangan guru. Bahkan banyak lelucon beredar dengan maraknya
penyakit guru saat ini seperti diantaranya hipertensi (hiruk persoalkan
tentang sertifikasi), asma (asal masuk), THT (tukang hitung transpor),
kudis (kurang disiplin) , salesma (sangat lemah sekali membaca), asam
urat (asal mengajar kurang akurat) dan penyakit-penyakit guru yang lain.
Padahal
sejatinya perubahan terhadap pengakuan guru sebagai profesi tidaklah
mengubah esensi dasar tugas guru sebagai seorang pendidik. Guru tetaplah
orang yang seharusnya senantiasa berdedikasi terhadap pendidikan. Tugas
utamanya berkenaan dengan perkembangan manusia yang disebut peserta
didik. Maka saya sangat sepakat bahwa guru tak semata dipandang sebagai
profesi namun guru adalah panggilan jiwa.
Seperti kita
mengartikan istilah pahlawan, mereka adalah orang yang berdedikasi bagi
masyarakatnya tanpa memandang pamrih. Bicara pahlawan maka kita sedang
berbicara pengorbanan dan kebesaran jiwa. Kata pahlawan tak pernah
beriringan dengan keuntungan materi yang hanya akan mereduksi arti kata
pahlawan itu sendiri. Namun simbol kepahlawanan selalu beriringan dengan
semangat jiwa memberi terhadap sesama yang muncul dari nurani
kemanusiaan, yang kemudian membangkitkan keberanian dan pengorbanan.
Seperti
itu jugalah kita memandang semangat seorang pendidik. Mereka adalah
orang yang hampir seluruh bagian dari waktu hidupnya dipersembahkan
untuk lingkungan dan anak didiknya. Mereka adalah orang yang selalu
menyalakan harapan bangsa ini akan penerus-penerus yang berkualitas bagi
perbaikan bersama. Maka untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan ini
guru harus mampu keluar dari pragmatisme kerumitan gaji dan tunjangan.
Gaji
dan tunjangan itu penting. Kita semua paham bahwa itu merupakan materi
penunjang kelangsungan hidup. Namun seperti kita diajari oleh guru kita
dahulu bahwa menunaikan kewajiban itu lebih utama dibandingkan menuntut
hak. Begitu juga guru, kewajibannya untuk memberikan yang terbaik bagi
dunia pendidikan adalah hal yang utama dan gaji menjadi hal yang
sekunder. Ini sejalan dengan semangat kepahlawanan yang pernah
ditorehkan oleh kaum guru di negeri ini bahwa mendidik itu menanam benih
kebaikan.
Toh dengan berubahnya paradigma masyarakat terhadap
guru akhir-akhir ini, mereka masih tetap menyematkan kata pahlawan,
yakni pahlawan pembangun insan cendekia. Hal ini wajar karena apalagi
pekerjaan yang lebih mulia dibandingkan menumbuhkan jiwa-jiwa baru penuh
semangat perbaikan. Apa lagi pengorbanan yang lebih mulia dibandingkan
perjuangan sedikit-demi sedikit mengolah jiwa, rasa dan karsa peserta
didiknya hingga menjadi manusia paripurna?
Waktu memang terus
berubah dan jaman juga mengalami perkembangannya. Undang-undang di
negeri ini juga pastinya terus diperbaharui untuk kemajuan bersama.
Namun semua perubahan ini tidaklah mengubah esensi dasar tugas seorang
guru. Guru dan kepahlawanan adalah bagai dua sisi mata uang yang terus
bersisian. Semua guru seharusnya menyadari hal ini sepenuhnya. Jika ini
benar-benar melekat pada benak guru Indonesia maka separuh lebih
permasalahan pendidikan di negeri kita sejatinya telah terselesaikan.
Karena guru adalah tonggak maju mundurnya kualitas pendidikan suatu
bangsa.
"Untukmu para pejuang generasi"
0 komentar:
Posting Komentar